Da'wah : Memahami Perbuatan Rasulullah SAW


"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari  jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertaqwa". (Q.S. Al-An'am : 153)

Banyak umat Islam, bahkan di kalangan para aktifis muslim, yang tidak memahami secara utuh tentang perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa setiap yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wajib atau disunnahkan untuk diikuti. Padahal kalau kita kaji secara seksama masalah tersebut, ternyata para ulama merincinya dan sampai pada kesimpulan bahwa tidak setiap apa yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita harus mengikutinya, baik yang bersifat wajib maupun sunnah.

Tulisan di bawah ini, walau pun masih bersifat global dan tidak terperinci, tapi mudah-mudahan memberikan pencerahan bagi kita semua. Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa dibagi menjadi tiga:

Bagian Pertama: al Af' al Al Jibiliyah adalah perbuatan yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang manusia biasa. Seperti : cara makan, bahan yang dimakan, tempat makan, piring tempat makan, kapan, minum, tidur, cara berjalan, naik kendaraan, MCK.

Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah kisah : Khobab bin Mundzir yang mengusulkan agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memindahkan Markas (Pusat Komando) dalam perang Uhud yang beliau pilih, karena tidak strategis dalam ilmu peperangan menurut pandangan Khobab bin Mundzir. Pilihan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Pusat Komando dalam perang Uhud bukan berdasarkan wahyu, tetapi pendapat beliau belaka yang juga seorang manusia, sehingga dianggap kurang tepat oleh Khobab bin Mundzir yang mengetahui strategi perang.

Contoh yang lain adalah kisah yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang para sahabatnya di Madinah untuk melakukan penyerbukan pohon kurma, tetapi justru nasehat tersebut menyebabkan mereka gagal panen. Ini menunjukkan bahwa beliau sebagai manusia kadang salah dan pendapatnya kurang tepat, dan ini  berlaku dalam masalah-masalah keduniaan saja. Dalam masalah-masalah seperti ini, kita umat Islam tidak wajib untuk mengikutinya.

Lalu bagaimana dengan perbuatan Ibnu Umar ra. yang mengikuti jejak (napak tilas) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan ibadah haji, beliau berhenti di tempat berhentinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di tempat berdirinya, membuang hajat di tempat beliau membuag hajat dan seterusnya. Apakah perbuatan tersebut mendapatkan pahala?

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ibadah haji di bagi menjadi dua :

Pertama, Perbuatan yang bersifat at-Tasyri'iyah (perbuatan-perbuatan yang diperintahkan untuk diikuti) sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: "Ambillah haji dariku, sebab aku tidak tahu, barangkali aku tidak berhaji lagi sesudah hajiku ini." (H.R. Muslim No : 2286)

Perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kelompok ini, seperti : thowaf di Ka'bah tujuh kali, sa'i antara Shofa dan Marwa, melempar jumrah dan seterusnya. Dalam hal ini, kita diperintahkan untuk mengikutinya, baik itu berupa sunnah maupun wajib.

Kedua, Perbuatan yang bersifat al-Jibilliyah (perbuata-perbuatan yang merupakan tabiat manusia).

Perbuatan dalam kelompok kedua ini, kita tidak dianjurkan untuk mengikutinya, seperti tidurnya Rasulullah ..., makannya, tempat membuang hajatnya, berdiri dan duduknya di sela-sela ibadah haji.

Dari keterangan di atas,dapat kita simpulkan bahwa perbuatan Ibnu Umar ra., untuk napak tilas perjalanan haji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hal-hal yang bukan tasyri'iyah (yang tidak diperintahkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam), tidaklah mendapatkan pahala, apalagi hal tersebut tidak disetujui oleh mayoritas sahabat yang lain. Walaupun demikian, beliau (Ibnu Umar) mendapatkan pahala karena niat dan semangatnya untuk mengikuti apa yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi tidak mendapatkan pahala dari napak tilasnya tersebut.

Begitu juga mayoritas sahabat yang lain mendapat pahala karena meninggalkan napak tilas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka menyakini bahwa hal itu tidak diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Bagian Kedua : Khosois adalah perbuatan yang khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak boleh dilakukan oleh umatnya, seperti puasa wishal (berturut-turut tanpa berbuka), menikah lebih dari empat, kewajiban untuk melakukan sholat tahajud, menikah dengan cara menerima perempuan yang menghibahkan dirinya kepada-nya, dan lain-lainnya.

Perbuatan-perbuatan seperti ini, tentunya kita tidak diperintahkan untuk mengikutinya sama sekali, bahkan hukumnya haram untuk diikuti, karena itu khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja.

Untuk mengetahui apa saja kekhususan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara lebih mendetail, bisa dirujuk kitab-kitab yang ditulis para ulama dalam masalah ini, diantaranya adalah : kitab "Al-Khoshoish Al Kubra" karya Imam Abu al Fadhl Jalaluddin as-Suyuthi yang terdiri 288 halaman.

Bagian Ketiga : Al Af' al Al Mujarradah adalah perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak termasuk dalam kategori di atas, yang bertujuan untuk ditetapkan sebagai tasyri' kepada umatnya.

Perbuatan dalam bentuk ini, kita diperintahkan untuk mengikutinya, baik yang sifatnya sunnah atau wajib. Bagaimana kita membedakan bahwa perbuatan tersebut sunnah atau wajib? Untuk mengetahui hal tersebut, kita rinci dulu perbuatan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang Mujarradah ini menjadi dua :

Yang Pertama, Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berfungsi sebagai penjelas sesuatu yang masih mujmal (global) dalam Al-Qur'an, atau sebagai yang mengkhususkan ke-umuman-nya, atau sebagai yang membatasi kemutlakan-nya.

Perbuatan Mujarradah macam pertama ini dijelaskan melalui dua cara : Diterangkan secara tegas oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti dalam hadist : "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat. Maka jika waktu shalat sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang menjadi Imam adalah yang paling tua di antara kalian." (H.R. Bukhari : 595).

Kedua, diterangkan secara tidak tegas, karena hanya sekedar perbuatan saja, hal ini sebagai penjelas dari firman Allah (Q.S. Al-Maidah : 38) yang masih mujmal. Begitu juga perbuatan beliau ketika bertayamum samapi pergelangan tangan, sebagai penjelas dari firman Allah (Q.S. Maidah : 6).

Yang Kedua, Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dilakukan tanpa ada tujuan menerangkan, atau menjelaskan sesuatu seperti di atas. Kelompok kedua ini dibagi lagi menjadi dua :

Pertama, Diketahui bahwa perbuatan itu dimaksudkan untuk ditetapkan sebagai ajaran bagi umatnya (tasyri' iyah). Kedua, Tidak diketahui bahwa perbuatan tersebut untuk dijadikan syari'at atau tidak.

Pernbuatan dalam kategori kedua ini, bisa mempunyai dua kemungkinan : Kemungkinan pertama, perbuatan tersebut ada indikasi untuk taqarub kepada Allah `azza wa jalla, maka kita diperintahkan untuk mengikutinya, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat. Maka jika waktu shalat sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang menjadi Imam adalah yang paling tua di antara kalian." (H.R. Bukhari : 595).  Sebagaimana juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: "Ambillah haji dariku, sebab aku tidak tahu, barangkali aku tidak berhaji lagi sesudah hajiku ini." (H.R. Muslim No : 2286).

Kemungkinan Kedua : perbuatan tersebut tidak ada indikasinya untuk taqarub, sehingga masih diragukan apakah ini untuk taqarub kepada Allah `azza wa jalla atau tidak, seperti jual beli, membuang hajat, menikah dan lain-lainnya. Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kemungkinan kedua ini, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya, apakah itu termasuk perbuatan yang kita disunnahkan untuk mengikutinya, ataukah termasuk perbuatan yang biasa dilakukan manusia, sehingga kita tidak dianjurkan untuk mengikutinya. Yang benar adalah bahwa perbuatan seperti itu tidak dianjurkan untuk mengikutinya. Wallahu A'lam.

(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.49 Thn.XLI, 12 Shafar 1436 H/ 5 Desember 2014 M Oleh DR. Ahmad Zain An-Najah, MA)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Da'wah : Memahami Perbuatan Rasulullah SAW