Harta yang Abadi
Manusia memiliki naluri untuk mencintai harta dan kehidupan duniawi. Kecintaan itu sesuatu yang wajar, tetapi apabila berlebihan, kecintaan itu akan membuat serakah dan tamak, kikir, serta melampaui batas. Serta, melupakan tugas utama kehidupan, menjadi hambanya yang beriman dan bertakwa.
Harta yang diperoleh selama hidup merupakan rezeki yang di berikan Allah SWT untuk bekal beribadah, digunakan untuk ke pentingan kehidupan di dunia dan terutama digunakan untuk mempersiapkan kehidupan yang abadi di akhirat kelak. Kaum Muslimin diberikan tuntunan agar selalu menyisihkan sebagian rezeki untuk berinfak, bersedekah, berwakaf, dan berzakat, serta menafkahi keluarga. Dalam kisah teladan diceritakan para sahabat banyak menafkahkan hartanya demi kejayaan agama.
Mereka berlomba-lomba menginfakkan harta kekayaannya untuk perjuangan Islam. Salah satunya kisah masyhur tentang kedermawanan Abdurrahman bin Auf.
Dalam satu kesempatan, Rasulullah SAW meminta kesediaan kaum Muslimin untuk menyumbangkan harta bendanya yang akan digunakan untuk membiayai peperangan menghadapi kaum kafir. Abdurrahman bergegas pulang ke rumahnya. Kemudian, segera kembali ke hadapan Rasulullah. Sesampainya di hadapan Rasulullah, ia kemudian berkata, "Wahai Rasulullah, aku memiliki uang sebanyak 4.000 dirham. Tetapi, kali ini akan disumbangkan 2.000 dirham saja karena yang 2.000 dirham lagi akan ditinggalkan untuk keluarga."
"Semoga Allah melimpahkan berkat-Nya kepadamu, atas harta yang engkau sumbangkan maupun yang kau tinggalkan untuk keluargamu," ujar Rasulullah.
Demikianlah kedermawanan Abdurrahman bin Auf tertulis dalam sejarah. Ia tak segan-segan menumbangkan hartanya demi tegaknya agama Islam. Ketika Rasulullah memerlukan biaya untuk mempersiapkan Perang Tabuk, Abdurrahman tak segan-segan mendermakan uang yang dimilikinya, yaitu sebanyak 200 uqiyah emas.
Hal itu kemudian diketahui oleh Umar bin Khattab. Umar pun berbisik kepada Rasulullah SAW, "Agaknya Abdurrahman tidak meninggalkan uang sama sekali untuk istrinya."
Setelah mendengar apa yang dibisikkan oleh Umar bin Khattab, Rasulullah pun kemudian bertanya kepada Abdurrahman, "Engkau mendermakan uang begitu banyak. Tetapi aku khawatir, engkau tidak meninggalkan uang sepeser pun untuk belanja istrimu."
"Ada, ya Rasulullah. Untuk istriku, aku tinggali yang lebih banyak dan lebih besar dari apa yang kudermakan."
"Berapa?" tanya Rasulullah kemudian.
"Ia kutinggali sebanyak rezeki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah," jawab Abdurrahman sambil tersenyum.
Abdurrahman bin Auf tak segan-segan menyumbangkan semua uangnya karena ia percaya bahwa Allah akan membalasnya dengan rezeki yang berlipat-lipat ganda dan akan mengganjarnya pula dengan nikmat di akhirat.
Setiap orang yang berjiwa dermawan tidak pernah menjadi miskin, bahkan bertambah kemuliaannya, dicintai keluarga dan tetangga, serta disayangi orang yang pernah ditolongnya. Oleh karena itu, harta yang diinfakkan merupakan harta yang abadi, bukan hanya di dunia, melainkan setia menyertai sampai di akhirat. Apa yang dimakan atau diminum sekadar memenuhi perut, menjadi tenaga atau bahkan menjadi penyakit apabila berlebihan. Sedangkan harta yang disedekahkan, akan tetap mengalir pahalanya ketika telah meninggal sekalipun.
Sebagaimana janji Allah dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 261, "Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, serupa dengan sebulir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui." Wallahu a'lam.
(sumber:Republika edisi Selasa, 20 Januari 2015 Hal. 21 Oleh Oleh Prof Dadang Kahmad)
Tags :
hikmah