Da'wah : Menutup Aib Diri Sendiri dan Orang Lain

aib diri sendiri

"Barangsiapa menutupi (aib) saudaranya sesama muslim di dunia, Allah menutupi (aib) nya pada hari kiamat" (H.R. Ahmad)

Usai shalat ashar di masjid Quba, seorang sahabat mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta jama'ah untuk menikmati hidangan daging unta di rumahnya. Ketika sedang makan, ada tercium aroma tidak sedap. Rupanya diantara yang hadir ada yang buang angin. Para sahabat saling menoleh. Wajah Rasulullah sedikit berubah tanda tidak senang. Maka tatkala waktu sholat maghrib hampir masuk, sebelum bubar, Rasulullah berkata: "Barangsiapa yang makan daging unta, hendaklah ia berwudhu!". Mendengar perintah Rasulullah tersebut maka seluruh jama'ah mengambil air wudhu. Dan terhindarlah aib orang yang buang angin tadi.

Aib adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang jika diketahui oleh orang lain akan membuat rasa malu, rasa malu ini membawa kepada efek psikologi yang negatif jika tersebar.

Namun banyak kita dapati di tengah keseharian kita, pembicaraan dan obrolan itu sepertinya tidak asyik kalau tidak membicarakan aib, cacat dan kekurangan yang ada pada orang lain, padahal obrolan itu bukanlah perkara ringan dalam pandangan Islam.

Ajaran Islam melarang keras aib seseorang diceritakan, dan tidak boleh sekali-kali menyebarkan tentang apa atau bagaimana kondisi yang tidak baik tentang seseorang, bahkan Islam mengajarkan untuk menutupinya. Allah ... berfirman dalam Surat Al Hujaraat ayat 12 yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu mengumpat sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? ...."

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang seseorang untuk membuka aib tentang dirinya sendiri kepada orang lain, sebagaimana sabdanya: "Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan maksiat di malam hari, kemudian di paginya ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu padahal Allah telah menutupinya dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya." (H.R. Bukhari Muslim)

Sebaliknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang menutup aib saudara-saudara mereka, dengan menutup aib mereka di dunia dan akhirat, seperti dalam hadits shahih: "Dan barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah menutup aibnya di dunia dan akhirat." (H.R. Muslim)

Macam-Macam Aib
Adapun aib yang ada pada seseorang bisa dibagi menjadi dua kategori: Pertama, aib yang sifatnya khalqiyah, yaitu aib yang sifatnya qodrati dan bukan merupakan perbuatan maksiat. Seperti cacat di salah satu organ tubuh atau penyakit yang membuatnya malu jika diketahui oleh orang lain.

Aib seperti ini adalah aurat yang harus dijaga, tidak boleh disebarkan atau dibicarakan, baik secara terang-terangan atau dengan gunjingan, karena perbuatan tersebut adalah dosa besar menurut mayoritas ulama, karena aib yang sifatnya penciptaan Allah yang manusia tidak memiliki kuasa menolaknya, maka menyebarkannya berarti meng-hina dan itu berarti menghina Penciptanya. (Imam Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin).

Kedua, aib berupa perbuatan maksiat, baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi juga terbagi menjadi dua:

[a] Perbuatan maksiat yang hanya merusak hubungannya secara pribadi dengan Allah seperti minum khamr, berzina dan lain sebagainya. Jika seorang muslim mendapati saudaranya melakukan perbuatan seperti ini hendaklah ia tidak menyebarkan-luaskan hal tersebut, namun dia tetap memiliki kewajiban untuk melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Imam Syafi'i berkata, "Siapa yang menasehati saudaranya dengan tetap menjaga kerahasiaannya berarti dia benar-benar menasehatinya dan memperbaikinya. Sedang yang menasehati tanpa menjaga kerahasiaannya, berarti telah mengekspos aibnya dan mengkhianatinya." (Syarh Shahih Muslim, Imam an Nawawi).

[b] Perbuatan maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi tapi merugikan orang lain seperti mencuri, korupsi dan lain sebagainya. Maka perbuatan seperti ini diperbolehkan untuk diselidiki dan diungkap, karena hal ini sangat berbahaya jika dibiarkan, karena akan lebih banyak lagi merugikan orang lain.

Sebuah kisah masyhur yang ditulis oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab "Tawwabin" dapat dijadikan pelajaran bagi kita untuk menutup aib diri sendiri dan aib orang lain serta mengakuinya dihadapan Allah `azza wa jalla dengan bertaubat atas dosa tersebut.

Disebutkan bahwa pada zaman nabi Musa RA, Bani Israil ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka pun berkumpul mendatangi Nabi mereka. Mereka berkata, "Wahai Kaliimallah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menurunkan hujan kepada kami." Maka berangkatlah nabi Musa RA bersama kaumnya menuju padang pasir yang luas bersama lebih dari 70 ribu orang. Mulailah mereka berdoa dengan kondisi yang lusuh penuh debu, haus dan lapar.

Musa berdoa, "Wahai Tuhan kami turunkanlah hujan kepada kami, tebarkanlah rahmat-Mu, kasihilah anak-anak dan orang-orang yang mengandung, hewan-hewan dan orang-orang tua yang rukuk dan sujud."

Setelah itu langit tetap saja terang benderang, matahari pun bersina makin kemilau. Kemudian Musa berdoa lagi, "Wahai Tuhanku berilah kami hujan". Allah pun berfirman kepada Musa, "Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Keluarkanlah ia di depan manusia agar dia berdiri di depan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian."

Maka Musa pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, "Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun, keluarlah kehadapan kami, karena engkaulah hujan tak kunjung turun."

Seorang laki-laki melirik ke kanan dan ke kiri, maka tak seorang pun yang keluar di depan manusia, saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud. Ia berkata dalam hatinya, "Kalau aku keluar ke depan manusia, maka akan terbuka rahasiaku. Kalau aku tidak berterus terang, maka hujan pun tak akan turun." Maka kepalanya tertunduk malu dan menyesal, air matanya pun menetes, sambil berdoa kepada Allah, "Ya Allah, aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun, selama itu pula Engkau menutupi aibku. Sungguh sekarang aku bertobat kepada-Mu, maka terimalah taubatku." Belum sempat ia mengakhiri doanya makan awan-awan tebal pun bergumpal, semakin tebal menghitam lalu turunlah hujan.

Nabi Musa pun keheranan dan berkata, "Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, namun tak seorang pun yang keluar di depan manusia." Allah `azza wa jalla berfirman, "Aku menurunkan hujan karena seorang hamba yang karenanya hujan tak kunjung turun." Musa berakta, "Ya Allah, Tunjukkan padaku hamba yang taat itu." Allah `azza wa jalla berfirman, "Wahai Musa, Aku tidak membuka aibnya padahal ia bermaksiat kepada-Ku, apakah Aku akan membuka aibnya sedangkan ia taat kepada-Ku?!"

Setiap orang pasti memiliki kekurangan, cela dan dosa tertentu pada dirinya, maka suatu aib yang ada pada seseorang dapat dijadikan pelajaran bagi orang lain untuk dapat belajar dan memperbaiki diri agar tidak melakukan hal yang serupa yang akan menimpa dirinya dan orang lain akibat perbuatannya tersebut.

Maka beruntung dan berbahagialah orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri dari disibukkan dengan aib orang lain.Sungguh indahnya ajaran Islam yang menuntun kita agar menjaga aib kita sendiri dan menjaga aib orang lain, dan terus berupaya memperbaiki diri. Wallahu a'lam bishowab.

(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.5 Thn.XLII, 9 Rabiul Akhir 1436 H/ 30 Januari 2015 M Oleh H. Zulhamdi M. Saad, Lc/ - ikadi.co.id)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Da'wah : Menutup Aib Diri Sendiri dan Orang Lain