"Maka kecelakaanlah bagi , orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, ...". (Q.S. Al-Mauun : 4-5)
Secara bahasa Shalat berasal dari bahasa arab yang berarti Do'a. Menurut syariat Islam, praktik shalat harus sesuai dengan segala petunjuk tata cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai figur pengejawantah perintah Allah. Sedangkan menurut istilah shalat adalah ibadah khusus yang terdiri dari beberapa kegiatan mulai dari niat, ruku', sujud, bacaan Al-Fatihah dan sebagainya menurut tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimulai dengan takbirotul ikhram dan diakhiri dengan salaam.
Shalat merupakan satu-satunya Rukun Islam yang perintah kewajibannya disampaikan secara langsung oleh Allah `azza wa jalla kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peristiwa bersejarah Isra' Mi'raj. Perintah langsung ini bukan terjadi secara kebetulan, oleh karena sebenarnya shalat memiliki kedudukan yang sangat vital dan fatal bagi setiap muslim dalam kaitannya dengan hari kemudian dan hari ini.
Sebuah bangunan, setelah adanya pondasi yang merupakan asas sebuah bangunan berdiri, kebutuhan pokok setelah pondasi adalah tiang penyangga, penyokong, yang menguatkan bangunan tersebut. Apabila sebuah bangunan memiliki 5 buah pilar penyangga, maka jika satu dari tiang tersebut roboh maka kekuatan atau kekokohan bangunan tersebut akan berkurang. Demikian seterusnya kekokohan suatu bangunan akan terus berkurang seiring dengan hilangnya pilar-pilar penyangganya satu persatu.
Demikian pula Islam, yang ibaratnya adalah sebuah bangunan dengan syahadat sebagai pondasinya, dakwah dan jihad sebagai atap pelindungnya, dan sholat yang merupakan cerminan syariat Islam sebagai pilar penyangganya. Bila kaum muslimin rajin mendirikan sholat yang lima waktu secara berjamaah di masjid maka berarti mereka telah mengokohkan pilar-pilar Islam. Sebaliknya, apabila kaum muslimin malas, ogah-ogahan mendirikan sholat fardhu yang lima waktu secara berjamaah di masjid, maka berarti mereka telah melemahkan Islam itu sendiri dengan 'merobohkan' pilar-pilarnya.
Bahkan secara tegas dalam sebuah hadits Rasulullah disebutkan bahwa pembeda antara seorang mukmin dan kafir adalah seorang tersebut meninggalkan shalat atau tidak, yang bisa kita maknai bahwa agama Islam telah roboh dari diri seseorang tersebut bisa seorang tersebut meninggalkan shalat, terlepas dari perbedaan pendapat tentang kafir tidaknya orang tersebut.
Penyebutan shalat sebagai tiang Islam adalah tepat, dalam Al-Qur'an kita akan menemukan kata-kata yang digunakan adalah aqaama - yuqiimu (mendirikan). Pemilihan kata tersebut adalah untuk menegaskan bahwa shalat memang benar-benar sebagai pilar penyokong Islam yang dalam pelaksanaannya dihukumi wajib, lima kali dalam sehari semalam, dan dilaksanakan secara bersama-sama (berjamaah) di tempat yang tertentu yaitu masjid. Kita masih ingat kisah Isra' mi'raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mendapatkan perintah shalat secara langsung dari Allah `azza wa jalla yang pada awalnya dibebankan 50 kali dalam sehari semalam.
Tentunya ada maksud dari Allah Yang Maha Mengetahui mengenai jumlah shalat yang awalnya 50 waktu menjadi hanya lima waktu dalam sehari semalam dalam waktu yang tertentu. Firman Allah `azza wa jalla : "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan," (Q.S. Al-Ankabuut : 45).
Lalai dalam Shalat
Allah `azza wa jalla berfirman, "...Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, ..."(Q.S. Al-Maa'uun [107] : 4-6). Dalam ayat tersebut, siapakah yang dimaksud dengan orang yang lalai dari shalatnya? Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan menurut Ibnu Abbas bahwa mereka adalah orang-orang munafik yang mereka shalat ketika ramai orang banyak dan mereka meninggalkan shalat ketika dalam keadaan sunyi tidak dilihat orang. Dalam pengertian yang lebih luas, lalai dalam shalat bisa diartikan lalai dalam waktu pelaksanaan shalat, lalai dengan syarat dan rukunnya, dan lalai dalam menghadirkan kekhusyukan didalamnya.
Al-Haafidz Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, yang dimaksud orang-orang yang lalai dari shalatnya adalah:
Pertama, Orang tersebut lalai dalam pelaksanaannya. Lalai dalam waktu pelaksanaan shalat maksudnya adalah seseorang melalaikan waktu utama dalam melaksanakan shalat yaitu pada awal waktu. Ia selalu melaksanakan shalat pada akhir waktunya tanpa adanya udzur syar'i. Termasuk juga di dalamnya yaitu mengerjakan shalat di luar waktu yang telah disyari'atkan. Bahkan ia tidak mengerjakan shalat sama sekali ketika waktu shalat telah berlalu. Seseorang lebih disibukkan dengan perkara lain sehingga ia lalai dengan waktu shalat kemudian meninggalkannya.
Kedua, Orang tersebut tidak melaksanakan rukun dan syarat shalat sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah `azza wa jalla dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalai dengan syarat dan rukun dalam pelaksanaan shalat; seseorang mengerjakan shalat tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Ia melaksanakan sholat bagaikan ayam mematuk makanan, tidak ada ketenangan (thuma'ninah) di dalamnya. Ia melaksanakan shalat tanpa memperhatikan syarat dan rukunnya seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal beliau menyuruh kita shalat seperti shalat beliau, sebagaimana sabdanya, "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku (Nabi) shalat". (H.R. Bukhari/631).
Di sinilah pentingnya ilmu untuk mengetahui bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan shalat. Termasuk di dalamnya adalah memperbagus wudhu untuk melaksanakan shalat sebagai syarat sah shalat.
Ketiga, Orang tersebut tidak khusyu' dalam shalat dan tidak merenungi makna bacaan shalat. Lalai dalam menghadirkan khusyu' dalam shalat; khusyu' adalah menghadirkan rasa takut (khosyyah) kepada Allah Azza wa Jalla di dalam hati dan menampakkannya dengan perbuatan. Khusyu' dalam shalat bisa digapai dengan hadirnya hati, memahami dan mentadabburi bacaan yang ada di dalam shalat. Pandangan diarahkan menuju ke tempat sujud. Sedangkan lalai dalam menghadirkan khusyu' jauh dari hal-hal yang demikian. Hati orang yang lalai dalam shalatnya dipenuhi dengan perkara di luar shalat, pikirannya pun demikian. Bacaan di lisannya tidak dapat ia pahami maknanya dan tidak bisa ditadabburi.
Dan siapa saja yang memiliki salah satu dari ketiga sifat tersebut maka ia termasuk bagian dari ayat ini (yakni termasuk orang-orang yang lalai dalam shalatnya). Jika ketiga lalai tersebut ada pada diri seseorang dalam shalatnya, maka orang tersebut telah melakukan kemunafikan (munafik amaliy). Seperti yang disabdakan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa yang demikian itu adalah shalatnya orang-orang munafik yang mereka mengerjakan shalat pada waktu yang dimakruhkan untuk melaksanakan shalat, mereka melaksanakan shalat seperti mematuknya burung gagak, tidak ada ketenangan dan kekhusyuan di dalam shalatnya. (H.R. Muslim/622)
Dalam surat An Nisaa' (4): 142 dijelaskan pula bahwa ketika orang-orang munafik mengerjakan shalat mereka mengerjakannya dalam keadaan malas, tidak ikhlas hanya mengharapkan agar dilihat manusia (riya), dan tidak ada kekhusyukan di dalamnya, dan mereka tidak memahami apa yang diucapkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan dalam haditsnya bahwa shalat paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya' dan shalat Shubuh. Hal ini disebabkan karena mereka riya dalam shalatnya. Shalat Isya' waktunya adalah ketika sebagian malam terlah berlalu. Shalat Shubuh waktunya adalah di penghujung malam.
Kita memohon perlindungan kepada Allah `azza wa jalla dari sifat yang demikian. Selayaknya kita mengerjakan shalat tepat pada waktunya dan yang lebih utama adalah pada awal waktu. Mendirikannya dengan berjamaah di masjid. Kita pahami dan tadabburi bacaan-bacaan yang ada di dalamnya. Dan dengan semampu kita menghadirkan kekhusyukan di dalam shalat kita. Allahu a'lam.
(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.8 Thn.XLII, 1 Jumaddil Awwal 1436 H/ 20 Februari 2015 M Oleh Muttaqin Salam)