Puasa Dan Moral Bangsa




Manusia dinamai makhluk moral, karena setiap saat kepadanya dihadapkan pilihan baik dan buruk. Ia harus menentukan pilihan, mengeksekusi, dan mempertanggung jawabkannya, lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Menurut para filsuf akhlak, manusia tidak bisa menjadi baik sendiri. Kebaikan manusia dan keluhuran budi pekertinya sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh pendidikan dan proses pembelajaran yang dialaminya, baik pada lingkup keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

Di sinilah, puasa menjadi penting. Puasa menurut ulama Yusuf al-Qaradhawi adalah madrasah, yaitu institusi pendidikan atau pusat pelatihan rohani, yang menekankan pencegahan dari hal-hal yang menghacurkan (kaffun `an al-muhlikat) pada satu sisi, dan menumbuhkan hal-hal yang memuliakan (`amalun bi al- munjiyat) pada sisi yang lain.

Pembangunan moral dan akhlak, menurut filsuf akhlak Islam, Ibn Maskawaih, bisa dilakukan dengan menggunakan beberapa langkah berikut.

Pertama, mempertinggi komitmen pada kebaikan dan kebenaran. Karena manusia pada umumnya lebih cenderung pada keburukan dan kesenangan, dan kurang tertarik pada kebaikan. Nabi bersabda, "Palang pintu surga adalah kesulitan, sedangkan palang pintu neraka adalah kesenangan." (HR Muslim).

Kedua, melakukan olah jiwa ( riyadhah al-nafs). Seperti kebugaran fisik membutuhkan olahraga, kebugaran rohani atau spiritual juga memerlukan olah jiwa. Inti dari olah jiwa adalah pengendalian diri (al-imsak) dari keburukan, dan pembiasaan (al-mumarasah)pada kebaikan dan kemuliaan.

Ketiga, membangun pertemanan dengan orang baik. Ibnu `Athaillah al- Sakandari berpesan, "Jangan berteman dengan orang yang sikap dan perkataannya tidak menggugah dan tidak menuntun Anda lebih dekat kepada Allah."

Pembangunan akhlak, menurut Maskawaih, memerlukan kecerdasan lain yang dinamakan kecerdasan moral.
Fungsi akal (kecerdasan) tak hanya berpikir (intelektual), tetapi juga pengendali dan penyeimbang berbagai kecenderungan dalam diri manusia.

Dengan kecerdasan moral, manusia mampu memilih jalan takwa (kecenderungan konstruktif) dan menjauhkan diri dari jalan kefasikan (kecenderungan destruktif). Lihat QS al-Syams [91]: 8-10.

Terakhir, di luar dari semua yang sudah disebutkan, pembangunan akhlak memerlukan adanya keseimbangan antara rencana dan tindakan. Semua rencana dan keinginan baik harus di wujudkan dalam kenyataan. Sebab, setiap kali ada kesenjangan (diskrepansi) antara rencana, baik (pernyataan) mau pun tindakan (kenyataan), maka hal demikian akan menimbulkan "demoralisasi" yang amat berbahaya bagi pembangunan akhlak.

Proses yang disebut terkhir ini akan menumbuhkan dan membangun kejujuran dan karakter (al-shidq), baik dalam pikiran, tindakan, maupun perkataan. Dengan kejujuran, Anda mengatakan apa yang Anda lakukan ( say what you do), dan dengan karakter, Anda selalu melakukan apa yang Anda katakan (do what you say).

Proses pembangunan akhlak seperti dipaparkan di atas, semuanya terkandung sangat kuat dalam ibadah puasa. Tidak salah bila dikatakan, puasa merupakan sarana terbaik bagi pembangunan moral dan akhlak bangsa. Wallahu a'lam!

(sumber:Republika, edisi Kamis, 24 Juli 2014 Hal. 01 Oleh Ustaz Yusuf Mansur)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Puasa Dan Moral Bangsa