Suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah dan memohon sesuatu, "Ya Rasulullah, suruhlah aku dengan amal pekerjaan, tetapi sedikitkanlah," pintanya. Rasul pun menjawab, 'Jangan marah!'. Lelaki itu kemudian mengulangi lagi permohonannya. Tetapi, Rasulullah menjawabnya dengan jawaban yang sama, 'Jangan marah' (HR. Bukhari).
Di lain pihak Allah SWT pun menurunkan perintah berperang di jalan-Nya, "Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci." Allah melanjutkan firman-Nya dengan satu peringatan yang menisbikan penilaian manusia atas sesuatu, Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal dia amat buruk bagimu.
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216).Di sisi lain, Allah pun berfirman, "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah (bagimu)." (QS. At-Taaghabun: 15). Sahabat, tenyata ada tiga hal yang diperingatkan Allah dan Rasul-Nya agar kita tidak tergelincir ke dalam jurang kehinaan. Ketiga hal tersebut adalah marah, benci, dan cinta.
Islam tidak melarang kita marah, benci, dan mencintai sesuatu, karena itu manusiawi. Bahkan ketiganya harus dipelihara dan diarahkan agar membawa kebaikan. Yang dilarang itu adalah kemarahan, kebencian, dan rasa cinta yang akan membuat kita buta pada kebenaran dan keadilan. Kita tidak normal, bila tidak pernah marah dan benci.
Misal, bila istri kita digoda orang lain dan kita diam saja tidak melakukan reaksi apa pun. Ini jelas tidak normal. Demikian juga, bila tiba-tiba uang atau pakaian kita diambil orang di depan mata, lalu kita malah tersenyum. Ini jelas tidak normal juga. Sangat wajar bila dalam hati muncul perasaan marah dan benci, dan diekspresikan dengan menegur orang tersebut. Istri dan harta merupakan titipan Allah yang harus kita jaga.
Jadi, kita harus memiliki kemarahan dan kebencian. Tapi marah dan benci yang bagaimana? Tentu marah dan benci yang proporsional. Tepat waktu dan tepat sasarannya. Kita harus marah dan benci terhadap kekufuran, bukan kepada orangnya, karena dia pun hamba Allah juga.
Kita harus marah dan benci terhadap kejahatan, bukan kepada orang yang melakukan kejahatannya. Justru kita harus merasa iba dan berbelaskasihan kepada orang yang melakukan kemaksiatan tersebut. Mungkin ia melakukannya karena belum tahu, terpaksa, atau karena sebab lainnya. Kita harus terus berempati dan tidak berburuk sangka terlebih dahulu.
Dan, kita harus memiliki keinginan untuk menyadarkan mereka terhadap nikmatnya berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan agama.Kita bersyukur kepada Allah, karena kita tidak ditakdirkan tergelincir ke dalam jurang kemaksiatan seperti yang mereka lakukan.
Padahal, sangat mudah bagi Allah untuk menenggelamkan kita dalam kenistaan. Hasilnya, kita dituntut untuk dapat menempatkan kemarahan dan kebencian pada tempatnya sambil sekuat-kuatnya mengendalikan diri agar tidak berlebihan. Karena, segala sesuatu yang berlebihan biasanya sudah tercampuri oleh hawa nafsu.
Hal lain yang juga dapat membahayakan kita adalah perasaan cinta dan kasih sayang yang berlebihan. Semakin melewati takaran, seperti halnya perasaan marah dan benci, perasaan cinta pun dapat membutakan kebenaran. Cinta yang berlebihan dari seorang istri terhadap suaminya, akan melahirkan perasaan cemburu yang berlebihan pula.
Hatinya akan menjadi kotor dan terus bertambah kekotorannya lantaran berkecamuk perasaan curiga dan buruk sangka terhadap apapun yang dilakukan suami. Setiap saat timbul perasaan waswas, cemas, dan gelisah tanpa sebab, serta sangat berkeinginan untuk membatasi ruang gerak suaminya. Dengan demikian, butalah ia dari kebenaran.
Situasi seperti ini akan terjadi pula pada seorang suami yang terlalu mencintai istrinya.Terlalu cinta kepada anak, juga sangat tidak baik. Pernah ada seorang ikhwan yang begitu bangga dan sayang terhadap anak pertamanya yang masih bayi, sehingga hampir di setiap ada kesempatan selalu menggendong dan menimang-nimang sang bayi.
Bahkan setiap usai shalat pun ia sering lupa berzikir seperti biasanya dan segera melompat pulang ke rumah. Ketika gurunya yang mursyid mengetahui kelalaian tersebut, ia pun segera diingatkan, "Awas, berhati-hatilah! Jangan sampai cinta kepada makhluk menjauhkan dirimu dari cinta kepada Allah".
Kecintaan yang berlebihan pada harta juga dapat membuat kita tergelincir dari nilai-nilai kebenaran. Bukankah sifat riya, ujub, sum'ah (ingin populer), dan takabur bisa muncul dalam hati karena melimpahnya harta yang kita miliki? Demikian juga sifat kikir, enggan menolong orang yang lemah, dan malas mengeluarkan infak dan zakat timbul karena takut jatuh miskin.
Bila ini terjadi, kita tidak akan pernah sadar bahwa sebenarnya harta yang kita genggam itu hanyalah titipan Allah SWT. Sekali lagi ketamakan terhadap harta akan membutakan kebenaran dan berujung pada kerusakan. Oleh karena itu, Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang jauh-jauh hari telah memperingatkan hamba-hamba-Nya, "Hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu mengingat Allah.
Barangsiapa yang berbuat demikian itulah orang-orang yang merugi." (QS. Al-Munaafiquun [63]: 9). Sahabat, adapun kebenaran itu, tidaklah perlu diragukan lagi, pasti datangnya dari Allah, Zat Pemilik alam semesta ini. Al haqqu min rabbika falaa takuunanna minal mumtariin. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu, demikian firman Allah dalam Surat Al-Baqarah [2]: 147.
Karenanya, agar kita bisa memahami hakikat kebenaran dari Allah, maka kita harus bersikap proporsional dan tidak berlebihan mencintai makhluk. Demikian pula dalam mengungkapkan perasaan marah dan benci, janganlah kita berlebihan. Islam mengajarkan kita untuk tidak bersikap berlebihan dalam beramal dan berperilaku.
(sumber:Republika.co.id Oleh KH Abdullah Gymnastiar edisi Senin, 06 Oktober 2003)