Hakikat Qanaah
Rasulullah SAW pernah berkata kepada Hakim bin Hizam, "Harta memang indah dan manis, barang siapa mengambilnya dengan lapang dada maka dia mendapatkan berkah. Sebaliknya, barang siapa menerimanya dengan kerakusan maka harta itu tidak akan memberikan berkah kepadanya layaknya orang makan yang tak pernah kenyang." Dunia nyata semakin menggelorakan nafsu menumpuk harta dan berebut takhta. Karenanya, kita memerlukan treatment menghadapi itu semua, salah satunya dengan mengingat kembali konsep qanaah.
Qanaah adalah merasa puas atas pemberian yang sudah diterimanya. Puas itu ditunjukkan dengan syukur dan menghindari kerakusan. Selain itu, mengekang diri dalam memburu apa yang diinginkannya karena merasa cukup dengan apa yang telah diperoleh. Qanaah merupakan salah satu jalur alternatif mengendalikan diri di tengah gemerlap dunia yang semakin menggiurkan. Inilah sikap yang harus dimiliki oleh seorang Muslim pada umumnya dan Muslim pejabat pada khususnya. Hal itu mengingat derasnya cobaan yang silih berganti menawarkan isi dunia.
Bukankah kita sudah maklum bahwa pada akhirnya nanti uang, harta, dan takhta juga akan sirna. Uang akan usang, harta akan binasa, dan jabatan akan digantikan. Mengapa diri ini selalu tertarik untuk mengumpulkannya, bukankah itu sama artinya menimbun busa yang akan lenyap diterpa udara? Orang yang cerdas pastilah lebih suka mencari sesuatu yang lebih tahan lama, sesuatu yang tidak cepat punah dan habis hanya karena pergantian masa. Adakah hal yang demikian itulah qanaah.
Kita perlu bersandar pada hadis Rasulullah SAW, "Jadilah kamu orang yang wara', pasti kamu menjadi orang yang rajin beribadah, dan jadilah kamu orang yang qanaah, pastilah kamu menjadi orang yang banyak bersyukur (HR.Bukhari)." Janganlah salah mengartikan qanaah dengan berpangku tangan, berserah diri tanpa usaha, namun penuh harap akan rahmat Allah SWT.
Tidak, bukan demikian maksud qanaah tersebut. Manusia tidak dilarang mencari rezeki, bahkan Allah SWT memerintahkan manusia untuk berusaha. Karena hasil usahalah yang akan menopang ibadah seseorang. Usahalah yang menjadi modal perjuangan agama. Tanpa ada hasil usaha, tidak akan ada masjid mewah, tidak ada panti asuhan, tidak ada madrasah dan mushalla. Semua itu memerlukan usaha dan harta.
Hanya saja yang perlu disadari dunia usaha bagaikan hutan belantara yang gelap tanpa arah. Apabila kita berjalan tanpa senjata dan tidak berhati-hati, akan diterkam binatang buas atau tersesat di dalamnya. Sehingga kita tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal ataupun mendapatkannya, tetapi bukan hasil yang halal.
(sumber:Republika edisi Jumat, 19 Desember 2014 Hal. 25 Oleh Aji Setiawan)