Belajar Baik Sangka

belajar baik sangka

Suatu malam, seorang sultan bernama Murad ar-Rabi (1623-1640) diserang rasa gundah yang hebat. "Barangkali Tuan perlu turun lagi untuk melihat keadaan rakyat Tuan!" ujar kepala sipir yang sedari tadi memperhatikan kegundahan sultannya memberi masukan.

"Hmm, tidak ada salahnya juga. Jangan-jangan akan ada peristiwa penuh hikmah yang terjadi nanti," batin sultan yang memiliki kebiasaan blusukan ini. Lalu, dimintalah sipir untuk menemaninya.

Dan benar saja. Di tengah-tengah jalan perbatasan kampung, beliau yang dalam blusukan suka menyamar ini melihat seseorang tergeletak sudah tidak bernyawa. Namun yang membuat miris, di jalanan yang masih banyak orang berlalu lalang, satu pun tidak ada yang mau mengurusnya.

Saat beberapa orang ditegur, dijawab sinis. "Biar saja. dia fasik, peminum khamar, dan penzina!"
"Tolonglah atas nama umat Nabi Muhammad, antarkan jenazah ini ke keluarganya!" ujar ar-Rabi iba. Lalu dengan dibopong berdua sipir, jenazah ini diantarlah oleh beberapa orang ke alamat yang dimaksud. Sang istri menyambut dengan tangis kesedihan, namun penuh ketegaran.

Selain itu, para pengantar bergegas pulang dan sama sekali tidak ada keinginan untuk mengurusinya. "Mengapa kalian tidak ikut bersama mereka, meninggalkan jenazah ini, wahai wali Allah!" ujar si istri.

Disebutkan wali Allah ar-Rabi terhenyak kaget, "Bagaimana engkau sebut kami wali Allah, sedangkan di luar sana menganggap buruk pada jenazah suamimu ini?"

Dikisahkanlah kemudian kekhawatiran dirinya tentang amal suaminya selama ini. "Tidakkah engkau takut wahai suamiku, jika engkau masih melakukan amalmu itu, lalu engkau meninggal di tengah jalan maka tidak akan ada orang yang mau mengurus jenazahmu apalagi menshalatkanmu."

Dijawablah oleh suamiku, "Jangan khawatir istriku jika itu terjadi, yang akan mengurus jenazahku nanti adalah wali Allah dan penguasa di negeri ini. Bahkan, yang akan menshalatkanku adalah para ulamanya."

Amal yang dimaksud, yakni kebiasaan membeli botol-botol minuman khamar, lalu dibawanya pulang, kemudian dipecahkan dan dibuangnya ke selokan. Sedikit pun tidak diminumnya.
Selain itu, pada malam lain adalah mengetuk rumah perempuan "nakal", kemudian memintanya untuk tidak membuka pintu bagi umat Nabi Muhammad. Kompensasinya membayar seharga laki-laki hidung belang.

Mendengar cerita sang istri salihah, ar-Rabi berdiri dengan derai air mata. "Demi Allah, saya adalah sultan di negeri ini. Dan besok saya akan perintahkan para ulama di negeri ini untuk menshalatkan suamimu itu!"

Pantaslah Allah berpesan, "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain." (QS al-Hujurat [49]:12).

(sumber:Republika edisi Jumat, 23 Januari 2015 Hal. 25 Oleh Muhammad Arifin Ilham)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Belajar Baik Sangka