"Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui". (Q.S. Al-A'raaf : 182)
Menjadi kewajiban bagi orang beriman untuk mencari karunia Allah `azza wa jalla di muka bumi sebagai kebutuhan hidupnya. Orang yang beriman tidak boleh malas, apalagi sampai menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Berkenaan dengan ini al-Qur'an menekannkan agar kaum muslimin bertebaran di muka bumi ketika usai melaksanakan shalat. "Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyak supaya kamu beruntung." (Q.S. Jumu'ah : 10)
Betapa Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk berusaha, entah bekerja atau berdagang dalam rangka mendapatkan karunia itu. Hanya saja yang perlu digaris-bawahi adalah, tidak hanya mendapatkan rezeki sebagai karunia itu secara serampangan dan sembarangan. Asal dapat dan yang penting banyak. Dari mana dan bagaimana itu soal belakangan. Ini sama sekali tidak boleh. Karena dalam ajaran Islam ada aturannya agar karunia itu dapat mendatangkan keberkahan.
Berkaitan dengan ini, maka dapatlah dikatakan bahwa rezeki itu terbagi menjadi dua. Ada rezeki yang halal dan ada rezeki yang haram. Sepintas sulit dibedakan karena seakan-akan sama. Akan tetapi kalaulah mau dipahami, maka keduanya memiliki perbedaan yang sangat prinsipil. Untuk menbedakannya, paling tidak ada dua hal yang perlu di perhatikan. Yang pertama adalah cara mendapatkannya, dan yang kedua adalah adakah keridhaan Allah di dalamnya.
Rezeki halal paling tidak, ada dua unsur di dalamnya, Pertama, cara mendapatkannya dilakukan dengan cara-cara yang benar. Pada unsur yang pertama ini tidak menutup kemungkinan orang berbeda persepsi. Misalkan saja ada penyanyi dangdut, dengan pakaian seronok bernyanyi dan berlenggang lenggok di panggung pertunjukkan. Mereka mengakui telah melakukan perbuatan yang benar karena dengan caranya itu menggembirakan banyak orang. Kalau dikatakan kepada mereka itu perbuatan yang tidak benar, niscaya mereka akan memprotes dari mana sisi tidak benarnya. Kok orang menghibur membuat hati orang banyak senang malah dikatakan salah. Oleh karena itu, maka sesuatu dikatakan rezeki halal juga harus terpenuhi unsur kedua yaitu mendapatkan ridha dari Allah `azza wa jalla.
Sehingga kalau kedua unsur ini tidak didapat, maka jelas ini bukan rezeki halal, tapi sebaliknya rezeki haram. Sebagaimana diketahui rezeki halal itu yang kemudian disebutkan dengan nikmat. Sedangkan rezeki halal itulah yang disebut dengan istidraj. Nikmat akan selalu mendatangkan keberkahan baik ketika di dunia maupun di akhirat, akan tetapi istidraj, dia akan selalu membawa kepada keburukan dan malapetaka.
Mengenai istidraj ini Allah `azza wa jalla menegaskan dalam surat al-A'raf ayat 182 sebagaimana yang dikutip di atas dalam tulisan ini. Siapapun orang, niscaya Allah akan memberikan istidraj kepada mereka-mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah dari arah yang mereka tidak ketahui.
Lalu apa itu istidraj? Dari Ubah bin Amir ra, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Apabila anda melihat Allah memberikan kenikamatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah".
Dari hadits itu jelas bahwa orang yang terkena istidraj adalah ketika mendapatkan segala fasilitas kenikmatan dunia sebagaimana yang diingininya padahal saat itu ia dalam keadaan durhaka kepada Allah. Apa yang menjadi keinginannya diberikan Allah. Entah itu jabatan, kedudukan, harta berlimpah, dan lain sebagainya, diberikan oleh Allah sehingga ia merasa betapa bahagianya karena berbagai fasilitas dunia telah diraihnya. Padahal tanpa disadarinya segala sesuatunya adalah uluran Allah dalam rangka menjatuhkan orang itu dikarenakan kedurhakaannya dalam mendapatkan fasilitas itu. Istidraj secara bahasa diambil dari kata da-ra-ja yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Sementara istidraj dari Allah kepada hamba dipahami sebagai 'hukuman' yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung. Allah biarkan orang ini dan tidak disegerakan adzabnya.
Untuk lebih rinci dan sekaligus kehati-hatian kita dalam mewaspadai istidraj ini mari kita simak urut-urutan orang yang terkena istidraj dan itu Allah gambarkan dalam surat Al-An'am (6) ayat 44. Firman-Nya, "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.:
Dari ayat ini maka ada lima tahapan orang yang terkena istidraj. Pertama, tatkala mereka melupakan peringatan-peringatan Allah. Dalam membahas kata nasuu, salah seorang pakar bahasa al-Qur'an, Raghib Asfahani memperingatkan bahwa melupakan itu timbul ada kalanya disebabkan oleh hati yang lemah, kelalaian dan disegaja. Dengan ini maka melupakan itu bukan artinya tidak ingat atau tidak sadar, tetapi juga bentuk kesengajaan, mungkin oleh karena dianggap ajaran Islam itu tidak modern, tidak akan membawa kemajuan, dan sebagainya. Dianggapnya memberatkan saja dan mempersempit, seperti berat mengeluarkan zakat, berpuasa, larangan terhadap judi, minuman keras, zalim, pergaulan bebas muda-mudi, dan sebagainya, dalam bentuk: tidak mengindahkan Islam.
Tahapan kedua adalah, Kami bukakan pintu segala sesuatu, entah pintu curang, khianat, zalim, sombong, ataukah pintu mabuk kemegahan, kecantikan, kekuasaan, dan sebagainya. Allah membukakan, malah membiarkan saja apa yang diperbuat oleh hambanya itu tanpa ada sesuatu teguran. Maka terpedayalah mereka dengan uluran waktu yang demikian dan mengira dunia ini berada di tangan mereka. Kalau sudah demikian, mata dan hati akan tertutup dari hidayah Allah.
Akhirnya semua apa yang diingininya diperoleh, hingga masuk tahapan ketiga, yaitu mereka begitu gembira mendapatkan apa yang sesuai dengan nafsu dan keinginannya. Apa maunya mereka itu maka Allah akan mengulurkan segala sesuatunya sehingga mereka tambah terpedaya dan hanyut ke hilir, mendekati titik kehancuran dan keruntuhannya. Kegembiraan yang luar biasa itu adalah puncak yang telah dicapainya, tetapi dia sama sekali tidak menyadari isyarat Allah, akan munculnya bahaya besar dalam dirinya akibat perlakuannya itu menghalalkan segala cara.
Maka tahapan keempat, tahapan yang sangat mengerikan, Allah berikan kepada orang itu adzab pada saat sedang menikmati segala kesenangannya yaitu Allah jatuhkan sekonyong-konyong dari arah atau cara yang sama sekali tidak diperhitungkan sebelumnya. Ketahuan akan kecurangannya atau lain sebagainya sehingga menyebabkan ia harus berhadapan dengan masalah hukum. Untuk kita di Indonesia, sudah banyak bukti-bukti, betapa seseorang yang tadinya menjadi orang terhormat dengan berbagai jabatan dan kedudukannya, akan tetapi tiba-tiba saja terjerat hukum yang mengantarkan dirinya dijebloskan ke penjara.
Kalaulah sudah demikian, maka akhirnya orang itu memasuki tahapan kelima, yaitu gelisah atau panik. Bukan saja sakit dan perihnya akibat apa yang ditimpakan Allah, tetapi juga cemooh, sinis, dan ejekan orang banyak, karena di jatuh di tengah manusia ramai dan disoroti tatapan mata orang banyak. Tentunya kita, semua orang tidak menginginkan hal ini terjadi pada dirinya.
Semua tindakan maksiat yang Allah balas dengan nikmat, dan Allah membuat dia lupa untuk beristighfar, sehingga dia semakin dekat dengan adzab sedikit demi sedikit, selanjutnya Allah berikan semua hukumannya, itulah istidraj.
Untuk itu janganlah hawa nafsu dikedepankan demi sebuah ambisi meraih kesenangan dan kebanggaan. Yang harus diupayakan adalah bagaimana kita mencari rezeki yang halal dan berkah aga kita tidak terkena istidraj. Wallahu A'lam.
(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.6 Thn.XLII, 16 Rabiul Akhir 1436 H/ 6 Februari 2015 M Oleh M. Isa Anshori)