"Sedekah yang paling utama adalah sedekah maksimal orang tidak punya, dan mulailah dari orang yang kamu tanggung." (H.R. Abu Dawud dan Hakim, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami' no. 1112)
Alkisah, pada suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkumpul bersama sekelompok sahabat beliau di Mesjid Madinah, tiba-tiba datang ke hadapan beliau seorang lelaki dengan penampilan yang amat lemah dan layu. Nampak di wajah dan matanya kemiskinan dan kelaparan yang panjang telah menggerogoti kebugaran tubuhnya. Orang itu bersimpuh di hadapan Nabi disaksikan puluhan pasang yang memandangnya dengan iba, kemudian berkata, "Wahai utusan Allah, sesungguhnya aku orang yang amat malang, kelaparan dan kehausan telah menderaku!".
Tanpa menunda-nunda waktu Rasulullah pun mengutus seseorang mendatangi rumah salah seorang istri beliau untuk meminta makanan yang tersedia. Namun istri beliau menyatakan, "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak mempunyai apapun selain air minum!". Rasul pun menyuruhnya mendatangi istri beliau yang lain. Namun saat itu kekurangan pangan memang sedang menimpa penduduk Madinah, sehingga semua istri-istri Nabi pun tidak punya simpanan makanan. Semuanya mengatakan hal yang sama, "Demi Allah, kami tidak mempunyai apa-apa selain air minum!".
Rasulullah mengalihkan padangan kepada semua sahabat yang ada di sekelilingnya seraya berkata, "Siapakah di antara kalian yang bisa menjamu tamuku ini, maka bawalah ke rumahnya dan berilah ia makanan secukupnya!". Suasana berubah hening. Tidak ada seorang pun sahabat yang menyahut tawaran Nabi yang mulia. Bukan tidak ada yang ingin menolong orang tersebut dan bukan tidak menghiraukan tawaran dari Nabi, tetapi memang kemiskinan dan kepapaan sedang menimpa semua penduduk Madinah masa itu.
Sesaat kemudian berdirilah seorang sahabat (dalam suatu riwayat dikatakan sahabat itu namanya Abu Thalhah), "Saya akan menjamu tamumu, wahai Rasulullah!". Thalhah mengajak sang tamu Rasul itu ke rumahnya. Ia mempersilahkan tamunya untuk duduk menunggu di ruang depan rumahnya. Sementara ia masuk ke dalam rumah menemui istrinya. "Itu adalah tamunya Rasulullah, tolong hidangkan makanan yang kita punya demi memuliakan tamu Rasulullah!". Istrinya berkata dengan nada terkejut, "Bagaimana kita akan menjamu orang, sementara kita tidak punya jatah makan malam anak-anak kecil kita?". Abu Thalhah berkata, "Hiburlah anak kita dan ajaklah ia bermain agar ia mau tidur dan melupakan makanannya, kemudian hidangkanlah makanan buat tamu kita!".
Istrinya melakukan apa yang disarankan suaminya. Setelah disiapkan makanannya, Abu Thalhah berkata lagi kepada istrinya, "Matikanlah lampu ruangan depan kita dengan engkau berpura-pura sedang memperbaiki sumbunya atau menambah minyaknya, kemudian bawalah makanan pada satu piring dan bawakan piring yang lain yang kosong bagiku!". Kemudian istri Abu Thalhah mengambil lampu tempel yang menempel di dinding ruang depan rumahnya, dengan pura-pura memperbaikinya iapun meniup api lampu itu sehingga ruangan menjadi gelap. Setelah itu ia ke mengambil dua piring. Yang satu dihidangkan kepada tamunya dan satunya lagi dihidangkan kepada di depan suaminya. Abu Thalhah mempersilahkan tamunya makan dengan puas, sementara ia berpura-pura menemani makan dengan mengetuk-ngetuk piringnya yang kosong sebagaimana halnya orang yang sedang makan. Setelah kenyang menyantap hidangannya, tamu itu pun pamit. Malam itu, Abu Thalhah dan istirnya tidur dengan perasaan puas karena telah memuliakan tamu Rasulullah, meskipun keduanya dan anak-anak mereka tertidur dalam keadaan lapar karena tidak bisa menikmati makan malam mereka.
Keesokan harinya, di pagi buta, Abu Thalhah berangkat ke Masjid Madinah untuk menunaikan shalat berjamaah subuh. Selesai shalat subuh, Rasulullah menghampirinya seraya berkata kepadanya, "Sungguh Allah bangga dan tersenyum dengan apa yang kalian lakukan malam tadi....!".
Bersikap dermawan di saat sedang dalam kecukupan adalah perbuatan terpuji. Namun mensedekahkan apa yang dimiliki disaat dirinya pun sedang amat membutuhkan adalah perbuatan yang dibanggakan di hadapan Allah. Hanya orang-orang yang telah dibebaskan dari kerakusan dan egoisme yang mampu melakukan sedekah yang paling mulia ini. Karena itulah Allah `azza wa jalla secara khusus menyanjung perilaku agung ini dalam Al-Qur'an Surat Al Hasyr ayat ke 9.
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung".
Orang-orang yang sungguhnya beruntung, sesungguhnya sukses besar, dan sesungguhnya peraih kebahagian sejati di dunia dan akhirat adalah mereka yang telah merasa bahagia karena telah mampu membahagiakan orang lain. Merekalah yang telah mampu mengalahkan dan menguasai egoisme dirinya.
Kaum Anshor adalah masyarakat yang telah sampai kepada derajat kedermawanan yang tinggi itu. Mereka menyediakan dan merelakan rumah-rumah mereka untuk ditinggali layaknya keluarga dan kerabat mereka sendiri; mereka merasa suka cita membagi harta benda, makanan, minuman, dan pakaian mereka dengan saudara seiman dari kaum Muhajirin melebihi berbagi dengan saudara sekandung mereka yang masih musyrik. Gambaran kecintaan dan pengorbanan mereka terhadap saudara seiman tidak bisa dibandingkan selain dengan kecintaan mereka terhadap diri mereka sendiri. Sebagaimana yang digambarkan oleh Nabi sendiri, bahwa "Tidaklah seorang mencapai kesempurnaan iman sehingga ia telah mampu mencintai saudaranya seiman seperti mencintai dirinya sendiri". (Hadits Shahih Riwayat Bukhari-Muslim)
Jika dengan kesempurnaan iman kaum Anshor telah mampu bersikap al-itsar (mendahulukan kepentingan saudaranya seiman diatas kepentingan dirinya sendiri), maka sikap orang mukmin sejati saat ini paling tidak ia harus mampu merasa bahagia dengan karunia dan nikmat yang diraih oleh saudaranya seiman sebagaimana ia akan merasa senang dan bahagia jika karunia dan nikmat itu menimpa pada dirinya, dan ia harus merasakan sedih dan sakit manakala saudaranya seiman tertimpa penderitaan dan malapetaka sebagaimana ia pasti merasa sedih dan sakit apabila malapetaka itu menimpa dirinya sendiri.
Kecintaan atas dasar keimanan seperti ini, minimal akan menghilangkan sikap iri dengki di antara sesama mukmin yaitu merasa marah dan cemburu jika saudaranya seiman mendapatkan karunia, kenikmatan atau kesuksesan dan sebaliknya merasa senang jika saudaranya menderita kecelakaan, kegagalan, dan kemalangan asalkan dirinya meraih kesuksesan. Dari Anas bin Malik RA dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidaklah (sempurna) iman seseorang diantara kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri". (H.R. Bukhari dan Muslim). Maka mencintai dalam kesempurnaan iman berarti mencintai apa yang terjadi pada dirinya, terjadi pula pada saudaranya. Mencintai jika saudaranya mendapatkan kebahagian sebagaimana ia mencintai kebahagian itu.
Kisah inspiratif ini di persembahkan bagi mereka yang merasa bahagia walau tidur beralas tikar dengan perut yang lapar demi mendahulukan saudara mereka agar bisa tidur diatas sofa yang nyaman dengan perut gendut kekenyangan; bagi mereka yang memilih hidup menjadi rakyat demi memberi kesempatan saudaranya menjadi para pemimpin; bagi mereka yang rela hidup terpinggirkan asalkan saudara mereka dapat hidup di tengah kelayakan dan bagi mereka yang menanam kebahagiannya yang hakiki di relung qalbu kebahagian saudara-saudaranya seiman. Wallahu A'lam.
(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.9 Thn.XLII, 8 Jumaddil Awwal 1436 H/ 27 Februari 2015 M Oleh Abu Himam)