Da'wah : Tiga Golongan Manusia

orang yang celaka, beruntung dan pertengahan
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan". (Q.S. Al-Qhashash : 77)

Imam Al-Ghazali membagi manusia kepada tiga golongan, dilihat dari sudut pandang jiwa mereka dalam menghadapi kehidupan. Pertama ialah orang-orang yang celaka, yang disebut dengan julukan Al-halikun; kedua, orang-orang yang beruntung, yang dinamakan Al-faizun; ketiga orang-orang yang pertengahan, yang dinamakan Al-Muqtashidun. Baiklah kita uraikan ketiga golongan ini secara singkat; satu demi satu.

Pertama, Al-Halikun
Golongan yang pertama ini senantiasa sibuk dan menyibukkan diri dengan kenikmatan hidup duniawi, dan melupakan sama sekali persiapan-persiapan untuk kehidupan yang akan datang (akhirat). Dunia ini dipandangnya laksana lautan madu yang perlu dicicipi kelezatan rasa manisnya. Walaupun dia menyadari bahwa kenikmatan dunia ini sifatnya sementara dan akan fana, tetapi hatinya telah tertambat padanya.

Meskipun setiap saat dia menyaksikan bahwa dunia ini hanyalah tempat lalu lalang, dimana orang silih berganti datang dan pergi. Sementara yang pergi tidak bisa mengangkut sumber-sumber kenikmatan hidup namun peristiwa-peristiwa itu tidak sedikitpun menggugah hati nurani dan kesadarannya.

Memang sudah menjadi tabiat manusia cinta kepada segala sesuatu yang dipandang sebagai kenikmatan duniawi. Allah ... berfirman : "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)". (Q.S. Ali Imraan : 14)

Meskipun tabiat dan naluri manusia cinta kepada kenikmatan dunia, tapi Allah ... juga menganugerahkan satu instrumen yang dapat mengendalikan keinginan-keinginan itu, yaitu akal. Dengan akal manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana menguntungkan dengan yang merugikan, antara nilai-nilai untuk jangka panjang atau pendek dan lain sebagainya.

Namun, ternyata akal saja tidak cukup. Buktinya, berapa banyak orang yang cerdas, pintar, brilian, otaknya encer tapi justru kepintarannya menyeret kelembah kehancuran dan kebinasaan. Itulah sebabnya akal pun perlu mendapat bimbingan dan petunjuk dari Pencipta dan arsitek akal itu sendiri yaitu Allah ...

Ajaran-ajaran Islam mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat dibuat menjadi kompas mengarungi samudera kehidupan ini. Agar jangan sampai tengelam dan berakhir terkubur di dalam dasar lautan (kecelakaan) untuk selama-selamanya. Pada ayat yang lain dalam Al-Qur'an Allah memperingatkan kepada manusia bahwa kehidupan ini laksana pentas drama, atau semacam fatamorgana, yang selalu mengkaburkan pandangan yang sebenarnya. Allah ... berfirman. "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu". (Q.S. Al-Hadid : 20)

Pada ayat di atas ditegaskan lima macam kedudukan kehidupan dunia yaitu, permainan (la'ibun), hal-hal yang melalaikan (laghwun), perhiasan (zinatun), bermegah-megahan (tafakhur), dan berlomba dalam megah-megahan. Apabila manusia tidak pandai memanfaatkan kedudukan yang demikian, maka timbullah bencana dan kecelakaan yang merugikan diri sendiri, bahkan seringkali pula merugika orang lain. Sehingga ia tidak hanya menjadi al-halikun (orang yang celaka) tetapi juga Al-Muhlikun (orang-orang yang mecelakakan) orang lain dan masyarakat.

Kedua, Al-Faizun
Golongan manusia yang kedua dinamakan oleh Imam Al-Ghazali sebagai Al-Faizun, yaitu orang yang beruntung atau yang mendapat kemenangan. Adapun perkataan al-faizun berasal dari bahasa Arab kata fawaza yang artinya menurut istilah Al-Qur'an, memperoleh kebaikan dengan hasil yang mengandung keselamatan. Perkataan al-faizun dalam Al-Qur'an melukiskan personifikasi orang-orang yang mendapat kenikmatan dan keberuntungan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Juga menggambarkan potret oleh orang-orang yang patuh, tekun, ikhlas, bertaqwa kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah ... berfirman, "Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan". (Q.S. At-Taubah : 20)

Dalam ayat yang lain Allah .. berfirman, "Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan". (Q.S. An-Nuur : 52)

Menurut Imam Al-Ghazali, kaum al-faizun (orang yang beruntung) itu ialah orang yang lebih sibuk dan menitik-beratkan amalnya untuk kepentingan kehidupan di akhirat kelak. Ini tidaklah berarti bahwa seluruh kegiatan harus dipusatkan untuk keperluan kehidupan akhirat semata. Sikap hidup yang demikian tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.

Pernah terjadi di zaman Rasulullah ... seorang sahabat yang bernama Utsman bin Ma'zhun, menjalankan satu tindakan yang ekstrim dan melampui batas dengan meninggalkan seluruh aktifitas duniawinya. Siang dan malam ia gunakan untuk beribadah kepada Allah. Bahkan, istrinya yang bernama Haula' dilarang untuk "mengganggu dan mendekatinya". Tatkala Rasulullah ... mengetahui hal itu, maka nabi memanggil Utsman bin Ma'zhun dan memerintahkan kepadanya untuk mengurungkan niatnya dan dia harus hidup dan bergaul kembali dengan istrinya seperti biasanya, sebab tindakannya tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.

Ketiga, Al-Muqtashidun
Adapun golongan al-muqtashidun itu adalah orang-orang yang pertengahan, yang tidak menyia-nyiakan persiapan (bekal) untuk kehidupan akhirat, tetapi juga memanfaatkan seperlunya kehidupan duniawinya. Menurut pendapat Al-Ghazali Al-Muqtashidin adalah orang-orang yang sibuk memanfaatkan kenikmatan dunia ini untuk kepentingan hidup yang akan datang (Akhirat).

Hal ini selaras dengan firman Allah dalam surat Al-Qashas ayat 77. Pada ayat tersebut disebutkan prioritas untuk mempersiapkan bekal akhirat tanpa meninggalkan kenikmatan duniawi. Yang perlu diperlihara ialah sikap seimbang antara kehidupan  dunia dan akhirat. Meskipun keseimbangan tersebut tidak harus fifty-fifty (50:50). Menjaga keseimbangan ini termasuk salah satu seni  hidup bagi mereka yang mendapatkan hidayah dan taufik Ilahy.

Kehidupan di dunia merupakan permainan dan senda gurau. Ada kalanya menang ada kalanya kalah. Susah dan senang silih berganti. Senangnya merupakan kesenangan menipu, sedihnya merupakan kesengsaraan sementara. Itulah dinamakan kehidupan di alam fana. Sungguh berbeda dengan kehidupan sejati dan abadi di akhirat nanti.

Semoga kita termasuk menjadi hamba-Nya  yang mendapatkan kehidupan dunia ini sebagai sarana untuk mendapatkan keselamatan di kehidupan akhirat kelak.

(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.12 Thn.XLII, 29 Jumaddil Awwal 1436 H/ 20 Maret 2015 M Oleh M. Yunan Nasution [Allah Yarham]. Disarikan dari Bunga Rampai Ajaran Islam 4)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Da'wah : Tiga Golongan Manusia