Da'wah : Meraih Nur Ilahy

"Allah adalah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu  di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" (Q.S. An-Nur : 35).

Kehidupan manusia butuh kepada cahaya, juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan yang mendapat cahaya matahari akan terlihat hijau, segar dan kuat, sedangkan yang tidak mendapat cahaya yang cukup akan terlihat menguning layu, terkulai, dan akhirnya mati. Demikian pula manusia, ia tidak dapat melihat dan mengenal dengan baik benda-benda yang ada disekelilingnya tanpa cahaya.

Kata nur dalam bahasa Arab digunakan untuk sesuatu yang menghilangkan kegelapan. Ini dapat digunakan dalam makna hakiki yaitu cahaya yang membantu mata untuk dapat melihat sesuatu benda, dan dalam makna majazi (kiasan), yakni untuk menjelaskan atau menerangkan sesuatu yang abstrak. Dengan mengunakan makna majazi ini, maka ilmu dan ajaran agama disebut juga nur karena ia dapat menerangi hati dan pikiran manusia untuk dapat melihat kebenaran.

Imam Syafi'i juga pernah berkata dalam syairnya: "Syakautu ilaa Waqi'i su'a hifzhi, Fa arsyadani
'ala tarkil ma'aashi, Li annal 'ilma nuurun, Wa nurullaahi laa yahdi lil 'aashi" Artinya: Aku pernah mengadu kepada Syaikh Waqi' (guruku) tentang buruknya  hafalanku. Lalu dia menunjuki aku agar meninggalkan segala kemaksiatan. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah nur, sedangkan  nur Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang durhaka.

Cahaya Allah itu berada pada sebuah pelita (misbah) di dalam sebuah lubang yang tak tembus (misykah). Kata mishbah adalah alat untuk menyalakan sumbu atau tabung. Pelita itu juga ditutup atau dikelilingi oleh kaca (zujajah) yang seolah-olah bintang Timur yang sedang memancarkan cahayanya. Pelita itu dinyalakan dengan minyak yang berasal dari pohon Zaitun yang tumbuh bukan di Timur dan buka pula di Barat.

Untuk pengertian 'memancarkan' atau menyalakan Allah menggunakan kata yuqadu (kata kerja sekarang dan akan datang/ fi'il mudhari'), hal ini menyiratkan makna bahwa bahan bakar atau minyak dari pelita itu ttidak pernah habis, ia akan mengalir sepanjang masa sehingga membuat pelita itu tak pernah padam.

Kalaulah pelita itu diibaratkan dengan Islam, maka Allah juga menegaskan dalam surat As-Shaf ayat 8: Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.

Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Hal ini menunjukatkan kualitas minyaknya yang begitu bagus karena beningnya, sehingga bisa memancarkan cahaya meskipun belum tersentuh oleh api. Menurut mufasir Al-Maraghi, itu adalah perumpamaan hati orang-orang mukmin yang mengamalkan hidayah Allah walaupun  belum mendapat ilmu. Setelah mereka memiliki ilmu, cahaya itu semakin cemerlang di dalam dirinya. Dengan mengutip Yahya bin Salam, beliau mengungkapkan bahwa hati orang mukmin itu telah mengenal kebenaran (alhaq) sebelum dijelaskan kepadanya. Nabi ... bersabda, "Berhati-hatilah dengna firasat orang mukmin, karena dia memandang dengan nur Allah".

Itulah Cahaya di atas cahaya. Maksunya, cahaya itu merupakan cahaya yang berlipat ganda yang merupakan sumber dari segala cahaya karena cahaya itu datangnya dari Yang Maha Pemberi Cahaya yaitu Allah. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Keutamaan Rumah Ibadah
Cahaya itu ada di rumah-rumah yang telah diizinkan Allah untuk ditinggikan dan disebut didalamnya nama-Nya di dalamnya di waktu pagi dan petang. Menurut sebagian mufasir, yang dimaksud dengan rumah-rumah (buyut) dalam ayat ini adalah masjid. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah ..., "Tidaklah berkumpul sejumlah orang dalam satu rumah Allah untuk membaca Al-Qur'an dan  mempelajarinya antara-mereka, kecuali turun atas mereka sakinah (ketenangan), rahmat pun meliputi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka disisi-Nya" (H.R. Muslim).

Karena fungsi utama rumah ibadah adalah untuk mendekatkan hati kepada Allah, baik melalui shalat maupun zikir dan do'a, sedangkan tasbih adalah bagian dari zikir. Di sini tampaklah betapa tinggi dan mulianya fungsi masjid untuk menggosok hati, mengasah dan mengasuh jiwa serta memupuk iman untuk memperkokoh ketahanan batin. Masjid bukanlah tempat pelarian karena tidak tahan menantang cahaya, melainkan tempat awal  melangkah untuk mendapatkan cahaya yang  bersih dan bening.

Di zaman Rasulullah, ada sekelompok sahabat yang tekun mendalami ilmu agama di beranda masjid nabawi. Mereka tidak terpengaruh politik praktis, itulah yang disebut dengan ahlus shufah yang menjadi cikal bakal bagi lahirnya ilmuwan atau ulama yang adil dalam berbagai  disiplin ilmu keislaman. Mereka akan mendapat nur (cahaya) Allah itu adalah laki-laki (orang-orang) yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan  menjadi goncang. Maksudnya ialah orang-orang yang mau bertasbih dan berzikir itu hanyalah orang-orang yang tidak dilalaikan oleh kegiatan duniawi, orang-orang mendirikan shalat, membayar zakat dan yang takut akan hari dimana hati dan penglihatan mereka akan goncang, yaitu hari kiamat yang penuh dengan peristiwa dahsyat yang mengerikan.

Allah ... berfirman dalam surat Al-munafiqun ayat 9, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi", surat Al-Jumu'ah ayat 9: "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui"

(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. Maksudnya, orang-orang yang selalu menegakkan shalat, menunaikan zakat serta banyak berzikir dan bertasbih di rumah-rumah Allah itu adalah mereka yang semata-mata mengharapkan balasan (pahala) dan karunia dari Allah, bukan mengharapkan yang selain itu misalnya keuntungan duniawi.

Rumah yang Mendapat  Nur
Selain itu, nur Allah juga akan masuk ke dalamnya berkumandan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sebagaimana Sabda Rasulullah ... "Berilah nur rumah tanggamu dengan (menegakkan) shalat dan membaca Al-Qur'an".

Cahaya yang dimaksud bukanlah cahaya hakiki sebagaimana cahaya lampu. Betapa banyaknya rumah-rumah mewah dihiasi  dengan lampu-lampu kristal dengan harga yang mahal namun tanpa nur Allah rumah itu terkadang bagaikan kuburan yang menyeramkan atau ajang pertengkaran dan pertikaian. Sebaliknya, ada rumah-rumah sederhana hanya diterangi oleh lampu-lampu minyak biasa, namun di dalam rumah itu terdapat sinar kedamaian dan ketenangan, penghuninya jauh dari pertengkaran dan pertikaian lantaran mendapat nur Ilahi. Karena itu, hidupkanlah  syi'ar agama di dalam rumah tangga.

DR. Ahmad Kosasih, MA (Ketua Dewan Da'wah Sumbar)


Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Da'wah : Meraih Nur Ilahy